Jumat, 14 Nov 2025
Uncategorized

DIDUGA REVITALISASI BANGUNAN SEKOLAH DI SUMEDANG BANYAK YANG TIDAK SESUAI DENGAN ATURAN

 

Sumedang ForjisNews.com

Program revitalisasi sekolah yang berangkat dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 Revitalisasi sekolah adalah program pemerintah untuk meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan melalui perbaikan, rehabilitasi, dan pembangunan fasilitas sekolah. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman, layak, dan bermutu, khususnya di daerah yang tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), serta mendorong partisipasi masyarakat dan perekonomian lokal melalui sistem swakelola.

Program ini membenahi fisik sekolah, seperti renovasi bangunan dan penyediaan peralatan modern, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Revitalisasi sekolah menggunakan pendekatan swakelola, di mana sekolah dan masyarakat lokal secara langsung mengelola dana bantuan untuk membangun

Selain meningkatkan mutu pendidikan secara fisik, program ini juga bertujuan untuk menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap sekolah dan menggerakkan ekonomi lokal melalui partisipasi aktif warga dalam proyek pembangunan. Tetapi di Kabupaten Sumedang salah satunya

Revitalisasi SD Negeri Antara I di Kecamatan Cibugel, Kabupaten Sumedang, seolah sedang menguji makna kata “pembangunan.” Sebab di lapangan, proyek bernilai Rp1,38 miliar dari APBN 2025 itu lebih mirip upaya memperkaya diri ketimbang memperkuat ruang belajar anak bangsa.

Hasil penelusuran menunjukkan, banyak bagian pekerjaan yang diduga menyimpang dari spesifikasi teknis. Pondasi bangunan baru yang semestinya digali idealnya sedalam 80 sentimeter, hanya dikeruk sekitar 40 sentimeter. Separuh kekuatannya hilang tanpa jejak, mungkin ikut tertimbun bersama nurani para pelaksana.

Tak berhenti di situ. Besi tulangan yang idealnya berdiameter 12 milimeter dicampur dengan besi berdiameter 10 milimeter. Sebuah “penghematan” yang mungkin menguntungkan sebagian pihak, tapi jelas melemahkan struktur bangunan. Dalam dunia teknik, itu disebut kecurangan; dalam hukum, namanya korupsi.

Praktik ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia adalah bentuk penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ancamannya bukan basa-basi: minimal empat tahun penjara.

Lebih jauh, tindakan seperti ini juga mencederai UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Mengabaikan standar keselamatan berarti mempertaruhkan nyawa murid dan guru yang akan beraktivitas di sana. Jika kelak bangunan ini roboh, tanggung jawab hukum dan moralnya tidak bisa dielak.

Ironisnya, proyek yang disebut “swakelola” ini dijalankan oleh Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP). Dengan waktu pengerjaan 120 hari, sejak 15 Agustus hingga 12 Desember 2025, semangat yang tampak justru bukan membangun mutu, melainkan mencari sisa dana.

Ketika media mencoba meminta konfirmasi, Kepala Sekolah selaku penanggung jawab proyek justru tak pernah bisa ditemui. Jawaban yang muncul berulang kali: “tidak ada di tempat.” Sebuah jawaban yang terdengar ringan, tapi menyimpan beban berat—karena publik berhak tahu ke mana uang negara itu mengalir.

Kini, proyek yang seharusnya menjadi simbol kemajuan malah menjelma monumen kejanggalan. Di atas pondasi yang dipangkas dan besi yang dikebiri, berdirilah bangunan yang mungkin saja tegak hari ini, namun menyimpan rapuh di dalamnya: kejujuran yang runtuh, moral yang ambruk…..timRedaksi



Baca Juga